Pembukaan
Kemalasan selalu datang diam-diam.
Kadang muncul saat kita sedang jenuh oleh rutinitas. Kadang muncul setelah semua tenaga dan pikiran terkuras habis, namun tak juga melihat hasil. Di mata banyak orang, kemalasan adalah musuh. Ia dianggap sebagai lawan dari kesuksesan, tanda kemunduran, dan sesuatu yang harus segera dibasmi.
Tapi... benarkah begitu?
Apakah setiap bentuk kemalasan memang pantas ditolak mentah-mentah?
Ataukah ada yang sebenarnya sedang coba disampaikan oleh rasa malas itu sendiri?
Isi
Bayangkan seseorang yang setiap hari bangun pagi, bekerja tanpa henti, memenuhi harapan demi harapan. Waktu untuk diri sendiri makin sempit, dan hidup seolah hanya berputar pada tugas. Ketika akhirnya ia memilih untuk tidak melakukan apa-apa selama sehari, lantas ia dicap pemalas?
Mungkin, kemalasan bukan selalu soal tidak ingin bergerak. Bisa jadi, ia adalah sinyal tubuh dan jiwa yang sedang kelelahan. Bentuk protes paling halus yang sering kita abaikan: sebuah tanda bahwa kita telah terlalu lama bertahan di medan yang diam-diam melelahkan.
Kemalasan kadang muncul bukan karena lemah, tapi karena terlalu kuat menahan semuanya sendirian.
Namun, ada garis halus yang memisahkan "butuh jeda" dengan "terlalu nyaman dalam diam". Di situlah pertanyaan mulai muncul:
Jika kemalasan jadi tempat singgah, ia bisa jadi pahlawan. Tapi jika dijadikan tempat tinggal, apakah kita masih bisa melangkah?
Tak jarang kita menyalahkan diri sendiri saat merasa malas. Padahal, akan ada saat-saat di mana diam adalah bentuk penyembuhan. Waktu tenang yang kita perlukan agar bisa mendengar ulang suara-suara yang sempat tertimbun oleh kesibukan. Tapi ketika kita terlalu larut, terlalu memanjakan rasa malas itu, lama-lama kita lupa bahwa hidup tetap berjalan. Dunia tidak menunggu kita kembali.
Bukankah dalam hidup, banyak hal yang hanya bisa tercapai dengan sedikit paksaan? Mimpi yang perlu dikejar, janji yang harus ditepati, tanggung jawab yang tak bisa ditunda. Dalam titik itu, kemalasan bisa berubah dari teman jadi jebakan. Dari pelindung jadi penjara.
Maka, muncul pertanyaan lanjutan:
Apakah yang kita sebut "kemalasan" itu benar-benar kemalasan? Atau hanya hasil dari luka yang belum sembuh, target yang terlalu tinggi, atau rutinitas yang tidak kita cintai?
Apakah kita benar-benar malas, atau sebenarnya hanya kehilangan arah?
Dan bila arah itu kembali ditemukan, mungkinkah rasa malas itu perlahan ikut menghilang?
Penutup
Pada akhirnya, kemalasan bisa jadi berkah… jika kita mampu memahami pesan yang tersembunyi di dalamnya. Ia mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, mengatur ulang nafas, dan meninjau kembali arah.
Namun jika terus kita peluk tanpa kejelasan, ia pun bisa menjauhkan kita dari banyak hal: dari kesempatan, dari harapan, bahkan dari versi terbaik diri sendiri.
Mungkin, pertanyaannya bukan lagi “kenapa aku malas?”
Tapi lebih dalam dari itu:
"Apa yang sedang hilang dari diriku, hingga aku tidak lagi punya semangat untuk mengejarnya?"
Dan lebih penting lagi,
"Sudah berapa lama aku terdiam, dan apa yang telah aku lewatkan?"
#mengeluh
#keluh kesah
#keresahan
#lelah
Kadang jadi malas itu berguna juga
BalasHapus