Pernahkah kita bertanya dalam hati:
“Kenapa aku sering resah pada hal-hal yang sebenarnya di luar kendaliku?”
Di tengah riuhnya media sosial, derasnya arus informasi, dan tekanan hidup
sehari-hari, kita seakan lupa bahwa tidak semua hal harus kita genggam erat.
Kita khawatir pada cuaca, cemas pada omongan orang, bahkan marah pada keadaan
yang tak bisa kita ubah. Lalu… apakah ada cara untuk berdamai?
Isi
Buku Filosofi Teras karya
Henry Manampiring
mencoba mengingatkan kita pada sebuah warisan kuno: stoisisme. Filsafat yang
lahir ribuan tahun lalu di Yunani dan berkembang di Roma ini ternyata masih
bernapas dalam kehidupan modern.
Henry menuliskannya dengan sederhana, seolah sedang berbincang di teras
rumah—tempat yang santai, tapi penuh kehangatan. Ia tidak menggurui, justru
menawarkan kisah-kisah para filsuf Stoik seperti Marcus Aurelius, Epictetus,
atau Seneca, lalu mengaitkannya dengan keresahan kita hari ini: pekerjaan yang
penuh tekanan, hubungan sosial yang rumit, hingga kecemasan eksistensial.
Konsep utama
stoisisme,
dichotomy of control, terasa relevan: ada hal-hal yang bisa kita kendalikan
(pikiran, sikap, keputusan), dan ada hal-hal yang tak bisa kita kendalikan
(pandangan orang lain, nasib, cuaca, bahkan kematian). Kebahagiaan, kata para
Stoik, datang ketika kita berhenti menggenggam yang di luar kendali.
Baca juga
Dalam buku ini, Henry tidak hanya memberi teori, tetapi juga latihan praktis.
Misalnya, bagaimana menghadapi kemarahan? Ia mengajak pembaca melihat bahwa
kemarahan sering lahir dari keinginan menguasai yang tak bisa dikuasai.
Bagaimana dengan kesedihan? Ia menunjukkan bahwa menerima kehilangan dengan
lapang bukan berarti menyerah, melainkan sebuah keberanian.
Buku ini terasa membumi. Henry menyinggung fenomena media sosial: rasa iri
ketika melihat kesuksesan orang lain, atau perasaan tidak berharga ketika
mendapat komentar buruk. Filosofi Teras menawari kacamata baru: apa gunanya
mengikatkan hati pada hal-hal yang tak pernah bisa kita kontrol?
Secara literer, gaya tulisannya ringan, diselingi humor khas Henry yang
membuat pembaca awam filsafat pun bisa menikmati. Namun, di balik keringanan
itu, ada kedalaman yang menusuk: seolah ia mengingatkan kita bahwa sumber
penderitaan sering kali bukan dunia luar, melainkan pikiran kita sendiri.
Baca juga
Penutup
Maka, relevankah stoisisme hari ini?
Bukan hanya relevan, tapi mendesak.
Di zaman yang penuh kebisingan, Filosofi Teras adalah semacam jeda—sebuah
ruang untuk duduk, menarik napas, dan kembali menata batin. Ia mengajarkan
kita seni menguasai diri, bukan dunia.
Dan mungkin, justru dari keterbatasan itu, kita bisa menemukan kebebasan yang
sejati.
Jika kamu mau mencoba mendalami buku ini, bisa mencari nya di
Relevan banget sih, minimal bikin kepala nggak meledak liat chaosnya dunia
BalasHapus